China-UE Segera Gelar KTT di Beijing, Rekonsiliasi atau Cuma Seremoni?

10 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

China dan Uni Eropa akan merayakan 50 tahun hubungan diplomatik kedua pihak, yang ditandai dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) China-UE yang akan digelar pada 24 Juli di Beijing. 

Jelang perhelatan tersebut, KTT ini justru diprediksi akan memperjelas perbedaan pandangan antara Eropa dan China, sekaligus menegaskan bahwa belum ada dasar kuat bagi rekonsiliasi strategis, tanpa perubahan mendasar di pihak Beijing. 

Mengutip The Diplomat, di tengah perubahan dinamika transatlantik di bawah pemerintahan kedua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pergeseran kekuatan global, sebagian kalangan di Uni Eropa mulai melirik pendekatan yang lebih seimbang terhadap China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, keinginan ini terbentur serangkaian hambatan struktural yang dalam: praktik dagang tidak adil China, catatan hak asasi manusia (HAM) yang mengkhawatirkan, serta dukungan terbuka Beijing terhadap Rusia dalam perang di Ukraina.

China tampaknya tidak berniat mengubah perilakunya. Alih-alih, Beijing bertaruh pada kelemahan internal Eropa, dan berharap Brussel akan menyerah. Tetapi Uni Eropa tidak bisa menyetujui kesepakatan besar tanpa konsesi nyata dari China di bidang ekonomi dan keamanan.

KTT tersebut berlangsung dalam konteks memburuknya hubungan antara Eropa dan Amerika Serikat. Sikap ambigu Trump terhadap dukungan untuk Ukraina dan kebijakan dagang yang keras terhadap Eropa seperti tarif 25 hingga 30 persen atas berbagai produk UE, telah mengguncang kepercayaan di benua tersebut.

Hal ini membuka ruang bagi diskursus soal "kemandirian strategis" Eropa. Melihat celah tersebut, Beijing melancarkan diplomasi pesona pada awal 2025, dengan pesan provokatif seperti "sahabat terbaikmu telah meninggalkanmu."

Tur delegasi China di Eropa

Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan timnya telah berkeliling Eropa, menyalahkan AS atas kerusakan tatanan global dan menawarkan China sebagai mitra stabilitas. Mereka mendorong agar Kesepakatan Investasi Komprehensif dihidupkan kembali dan sanksi UE terhadap China dicabut.

Beberapa pemimpin Eropa merespons positif, termasuk Ketua Komisi Eropa von der Leyen yang membuka pintu jika ada komitmen nyata dari China.

Langkah-langkah kecil pun dilakukan: pertemuan antara pejabat tinggi, percakapan telepon tingkat kepala negara, hingga pencabutan sanksi simbolik oleh kedua belah pihak. Namun, semuanya mentok pada satu titik: tidak ada langkah besar dari Beijing.

Karena ketiadaan tawaran substansial, Uni Eropa bahkan membatalkan Dialog Ekonomi dan Perdagangan Tingkat Tinggi yang biasanya rutin digelar.

Masalah utama tetap tak terselesaikan: defisit perdagangan kronis, hambatan non-tarif, transfer teknologi paksa, dan manipulasi mata uang. Ditambah lagi, subsidi negara China mendorong kelebihan kapasitas industri yang berujung pada dumping produk ke pasar Eropa.

Kendaraan listrik China menjadi contoh nyata. Uni Eropa telah mengenakan bea masuk hingga 45,3 persen karena praktik dumping. Namun, produsen China kini mulai membangun pabrik di dalam UE, berusaha menstempel produknya sebagai "buatan Eropa", manuver yang mengancam industri lokal. Defisit perdagangan UE dengan China pun menembus 300 miliar euro pada 2024.

Sementara itu, akses pasar tetap menjadi persoalan besar. Perusahaan Eropa mengeluhkan tertutupnya pasar pengadaan pemerintah China. Sebagai tanggapan, UE mulai menjalankan International Procurement Instrument (IPI) untuk membatasi akses produsen alat kesehatan China ke pasar Eropa selama lima tahun.

Di sektor strategis, isu tanah jarang (rare earth) menambah ketegangan. China menunda-nunda izin ekspor bahan penting ini ke UE, padahal sangat dibutuhkan oleh sektor otomotif, pertahanan, dan energi terbarukan. Langkah ini dilihat sebagai bagian dari dampak perang dagang China-AS yang semakin meluas ke kawasan lain.

Menjelang KTT China-UE

Lebih tajam lagi, hubungan China-UE terguncang akibat dukungan Beijing terhadap Rusia.

Ursula von der Leyen mengecam sikap "tanpa syarat" China terhadap Moskow, menyebutnya sebagai bentuk dukungan de facto terhadap ekonomi perang Rusia. Ia menegaskan, sikap China terhadap invasi Putin akan sangat menentukan arah hubungan UE-China ke depan.

Namun Beijing tidak goyah. Wang Yi bahkan mengatakan kepada kepala kebijakan luar negeri UE bahwa kekalahan Rusia bukanlah kepentingan China, karena justru akan mengalihkan fokus Amerika kembali ke Indo-Pasifik dan memperbesar tekanan terhadap Beijing.

Peringatan 50 tahun hubungan diplomatik UE-China yang bertepatan dengan KTT kali ini tampaknya jauh dari nuansa selebratif. Meski China ingin mendekati Eropa, mereka tak bersedia membayar harga berupa reformasi struktural di bidang ekonomi, teknologi, atau keamanan. Uni Eropa pun mulai menyadari bahwa rekonsiliasi besar hanyalah ilusi.

Bahkan jika hubungan transatlantik sedang renggang, nilai-nilai yang membentuk tatanan internasional-HAM, demokrasi, pasar bebas, supremasi hukum, dan non-agresi-tetap menjadi fondasi kuat antara AS dan UE. China, yang dikuasai Partai Komunis, tidak berbagi nilai-nilai itu dan malah berusaha membentuk tatanan alternatif yang lebih otoriter.

Selama China terus melanggar aturan internasional melalui praktik dagang tidak adil, pelanggaran HAM, dan dukungan terhadap agresi, tidak ada keuntungan strategis bagi Uni Eropa untuk memperhangat hubungan.

KTT ini, yang digelar tak jauh dari Tembok Besar China, sekali lagi akan menunjukkan betapa jauhnya jarak antara nilai-nilai dan kepentingan yang dipegang masing-masing pihak.

(dna)

Read Entire Article
Perlautan | Sumbar | Sekitar Bekasi | |