Jakarta, CNN Indonesia --
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Deddy Yevry Sitorus menyerukan mundur berjamaah kepada seluruh pejabat KPU, Bawaslu, Kemendagri, hingga DPR buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pilkada 2024.
Seruan itu disampaikan Deddy dalam rapat evaluasi dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri buntut putusan MK atas pemilihan ulang di 24 daerah hasil Pilkada serentak 2024.
Deddy menyatakan dirinya bahkan siap ikut mundur. Menurut dia, itu bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu karena dianggap gagal dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya enggak tahu, kita punya hak enggak untuk duduk lagi di ruangan ini semua. kalau kita budaya malu, saya kira wajar kita mundur semua," kata Dedddy.
"KPU Bawaslu Mendagri, Kapolri, gagal kita ini. DPR juga. Supaya adil. Enggak apa-apa, kalau kita perlu mundur berjamaah saya siap. Supaya sebagai tanggung jawab kita kepada bangsa ini loh," imbuhnya.
Menurut dia, putusan MK juga menunjukkan kegagalan pemerintahan sebelumnya dalam melaksanakan pemilu. Menurut Deddy, tudingannya bukan tanpa alasan, apalagi merujuk putusan MK terkait pilkada.
Deddy terutama menyoroti total permohonan sengketa pilkada yang mencapai 310 dari total pelaksana pilkada di 545 daerah. Menurut dia, 310 permohonan adalah lebih 60 persen dari jumlah total.
Namun, kata dia, bukan berarti di luar 310 tanpa masalah. Terlebih, dari 235 pilkada yang tak dibawa ke MK, 37 di antaranya merupakan kotak kosong. Sehingga, persis hanya tersisa 198 daerah.
"198 daerah itu bukan berarti tidak bermasalah, either pelanggarannya terlalu masif sehingga tidak bisa dibuktikan atau orang udah capek," kata dia.
Deddy mengaku kesal sebab beban anggaran pelaksana pemungutan suara ulang (PSU) kini justru dibebankan kepada rakyat lewat anggaran pemerintah daerah. Padahal, PSU sepenuhnya murni kelalaian KPU dan Bawaslu sejak awal.
Padahal, ongkos pemilu yang mahal bagi kontestan merupakan muara dari praktik korupsi pejabat selama ini. Namun, kata dia, pemerintah abai terhadap pangkal persoalan tersebut.
"Hampir 60 persen pilkada gagal bermasalah. rakyat disuruh bayar lagi, kepala daerah disuruh tarung lagi. dari mana uangnya? Minjem, jual, gadai," kata dia.
"Nanti kita teriak, kepala daerah koruptor. Muaranya di sini. ketidakmampuan kita menjaga pemilu yang jurdil, bikin pelanggaran di mana-mana, dan kita harus bayar itu semua, enak banget," imbuh Deddy.
(dal/thr)