CNN Indonesia
Selasa, 11 Mar 2025 22:45 WIB
Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Presiden Filipina, Sara Duterte, menyebut penangkapan ayahnya Rodrigo Duterte oleh Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah "penindasan dan penganiayaan".
"Hari ini pemerintah kita sendiri telah menyerahkan seorang warga negara Filipina, yang adalah seorang mantan presiden, kepada kekuatan asing," kata Sara, seperti dikutip Rappler.
"Ini adalah penghinaan terang-terangan terhadap kedaulatan kita dan penghinaan terhadap setiap orang Filipina yang percaya pada kemerdekaan negara kita," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sara menyebut hak-hak dasar sang ayah telah diabaikan saat ditangkap di Bandara Internasional Ninoy Aquino pada Selasa (11/3) pagi, usai tiba dari Hong Kong.
"Sejak dia dibawa pagi ini, dia belum pernah dibawa ke hadapan otoritas peradilan yang kompeten untuk menegaskan hak-haknya dan mengizinkannya memanfaatkan keringanan yang disediakan oleh hukum."
"Saat saya menulis ini, dia sedang dibawa secara paksa ke Den Haag. Ini bukan keadilan, ini penindasan dan penganiayaan," pungkasnya.
Rodrigo Duterte disebut bakal diterbangkan ke Den Haag Belanda malam ini dan ditahan di pusat penahanan ICC. Menurut Sara, ayahnya dipaksa naik pesawat sejak tiba di Manila pada Selasa pagi.
Sebelumnya Istana Kepresidenan Filipina mengonfirmasi penangkapan Rodrigo Duterte adalah atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Cabang Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) di Manila juga disebut sudah menerima salinan resmi surat perintah penangkapan Duterte.
Selama masa jabatannya sebagai Presiden Filipina 2016-2022, Duterte terus dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan kampanye anti-narkobanya.
Selama menjabat, Duterte memberikan kewenangan penuh kepada polisi untuk membunuh setiap kriminal narkoba.
Berdasarkan laporan, perang narkoba yang dilakukan Duterte menyebabkan setidaknya 6.000 orang tewas. Namun, kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban bisa mencapai 20.000 orang.
Sebagian besar dari korban perang antinarkoba ini bahkan tewas sebelum menghadapi proses pengadilan.
(dna)