Jakarta, CNN Indonesia --
Gereja Katolik Keluarga Kudus (The Holy Family Church) di Kota Gaza ramai berisi jemaat. Lampu-lampu di pohon Natal pun menyala berkelip-kelip.
Hari itu perayaan Misa Natal pertama warga Gaza dalam dua tahun usai agresi brutal Israel. Perayaan berlangsung saat gencatan senjata yang disepakati pada November 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cahaya gemerlap lampu pohon Natal dan dekorasi musim liburan tak bisa menyembunyikan kenyataan pahit situasi di Gaza. Gereja memutuskan untuk membatasi perayaan hanya dengan kebaktian doa, pertemuan keluarga singkat.
Namun,bagi warga di Gaza, perayaan ini memunculkan harapan. Mendengar lonceng yang begitu nyaring membuat hati mereka penuh dan utuh.
Salah satu dari orang-orang itu adalah Dmitri Boulos yang berusia 58 tahun. Ia berharap suka cita Natal tahun ini akan mengakhiri semua penderitaan warga di Gaza dan mencabut seluruh pembatasan.
"Kami berusaha membuat diri kami dan anak-anak kami merasa bahwa apa yang akan datang akan lebih baik, meski kenyataannya sangat sulit," kata dia seperti diberitakan Al Jazeera pada Kamis (25/12).
"Kami berharap semuanya akan kembali seperti semua," imbuh dia.
Gereja Katolik Keluarga Kudus (The Holy Family Church) di Kota Gaza ramai berisi jemaat pada 25 Desember 2025. (AFP/OMAR AL-QATTAA)
Sebelum agresi Israel, jumlah umat Kristen di Gaza mencapai 1.000 orang. Namun angka tersebut terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir.
Buolos lalu bercerita saat Israel gencar menggempur Gaza, rumah dia di Tal Al Hawa ikut hancur. Ia beserta keluarganya terpaksa mengungsi ke tempat yang dianggap aman. Mereka lalu memilih ke gereja. Namun, tempat ibadah pun tak lepas jadi target pasukan Zionis.
"Gereja kena serangan dua kali saat kami berada di dalamnya, dan kami kehilangan orang terkasih selama periode itu," ujar dia.
Israel menargetkan sejumlah gereja yang menjadi tempat berlindung warga Palestina. Beberapa di antaranya Gereja Keluarga Kudus, Gereja Orthodox St Porphyrius, dan Gereja Baptis Gaza.
Gereja Keluarga Kudus merupakan satu-satunya paroki Katolik di Gaza yang punya arti simbolis. Selama agresi, pemimpin Katolik seluruh dunia sebelumnya mendiang Paus Fransiskus kerap berkomunikasi dengan paroki di sana untuk meminta perkembangan situasi di Gaza.
"Dulu ada rasa takut dan duka yang mendalam atas kehilangan. Bagaimana kita bisa merayakan saat sekeliling kita terluka dan penuh kesedihan?" kata Buolos.
Trauma dan kehilangan itu juga masih dirasakan Nowzand Terzi. Pria 63 tahun itu juga terpaksa mengungsi karena rumahnya hancur imbas serangan Israel. Dia juga kehilangan anaknya karena sakit dan tak bisa dibawa ke rumah sakit imbas pembatasan ketat pasukan Zionis.
"Semoga Tuhan membantu mereka yang telah kehilangan orang yang mereka cintai, dan semoga kondisi di Jalur Gaza menjadi tenang," kata Terzi seraya mendoakan perdamaian dan keselamatan bagi semua.
Ini adalah harapan yang menggema di seluruh Jalur Gaza saat dua juta orang menghadapi serangan Israel, pelanggaran gencatan senjata, kekurangan makanan, kekurangan obat-obatan, dan tinggal di tempat tak layak.
(end)

5 hours ago
3
















































