Jakarta, CNN Indonesia --
Myanmar akan menggelar fase pertama pemilihan umum pada Minggu (28/12), yang merupakan pemungutan suara pertama di negara tersebut dalam lima tahun terakhir.
Meski junta militer menyebut ini sebagai langkah kembali menuju demokrasi multipartai, para kritikus menilai pemilu ini tidak akan memulihkan demokrasi yang hancur atau mengakhiri perang saudara yang kian mematikan.
Militer Myanmar, yang mengambil alih kekuasaan empat tahun lalu dengan menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, berupaya menggunakan pemilu ini untuk mendapatkan legitimasi internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kondisi di lapangan sangat kontras; konflik bersenjata yang meluas membuat pemungutan suara mustahil dilakukan di banyak wilayah Myanmar.
Karena alasan keamanan dan teknis, pemungutan suara akan dibagi menjadi tiga tahap:
- Tahap I (Minggu, 28 Des): Dilaksanakan di 102 dari 330 kota kecil.
- Tahap II (11 Jan 2026): Kelanjutan pemungutan suara di wilayah lain.
- Tahap III (25 Jan 2026): Tahap akhir pemungutan suara.
Melansir ABC News, tercatat ada 65 kota kecil yang sama sekali tidak akan menggelar pemungutan suara karena konflik aktif dengan kelompok gerilya etnis dan pasukan perlawanan.
Analis dari International Crisis Group, Richard Horsey, menegaskan bahwa pemilu ini tidak memiliki kredibilitas. "Pemilu ini tidak melibatkan partai politik mana pun yang menang besar pada pemilu sebelumnya," ujar Horsey kepada The Associated Press.
Strategi militer dinilai sangat jelas: memenangkan partai pendukung militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), secara telak guna memberikan "wajah sipil" pada kekuasaan militer. Hal ini diprediksi akan menjadi dalih bagi negara tetangga seperti China, India, dan Thailand untuk terus memberikan dukungan dengan alasan stabilitas.
Tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi (80), saat ini masih mendekam di penjara dengan hukuman 27 tahun atas tuduhan yang dianggap bermotif politik. Partai pemenangnya, National League for Democracy (NLD), telah dibubarkan oleh otoritas militer.
Data menunjukkan dampak mengerikan dari konflik sejak kudeta 2021, di mana lebih dari 7.600 warga sipil tewas di tangan pasukan keamanan. Kemudian, ada lebih dari 22.000 orang masih ditahan.
Sekitar 3,6 juta orang menjadi pengungsi internal (IDP) di dalam negeri. Selain itu, belum ada angka pasti, namun pada 2020 terdapat 37 juta pemilih terdaftar.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa warga sipil kini berada dalam posisi terjepit; diancam oleh otoritas militer jika tidak berpartisipasi, namun juga mendapat ancaman dari kelompok oposisi bersenjata jika ikut memilih.
Amnesty International melalui penelitinya, Joe Freeman, memperingatkan bahwa pemilu ini kemungkinan besar hanya akan mengukuhkan kekuasaan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal dan penindasan selama bertahun-tahun di Myanmar.
(wiw)

2 hours ago
2
















































