Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap di Bandara Internasional Manila pada hari ini, Selasa (11/3).
Dia ditangkap usai tiba dari Hong Kong. Saat di bandara, Duterte digiring ke ruang tahanan untuk menjalani pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penangkapan ini berlangsung usai kepolisian internasional (Interpol) mengeluarkan red notice dan penyelidikan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
ICC telah menyelidiki dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan Duterte dalam operasi anti narkoba selama dia menjadi presiden.
Terlepas dari penangkapan itu, berikut profil sekaligus jejak kasus Duterte.
Duterte lahir di Kota Maasin pada 28 Maret 1945. Dia sudah lama berkiprah di bidang politik.
Pada 2001 hingga 2010, Duterte menjadi Wali Kota Davao. Tiga tahun kemudian, dia menjadi wakil.
Lalu pada 2016 hingga 2022, dia menjadi presiden Filipina. Selama memimpin, pemerintahan Duterte panen kritik dan kecaman.
Salah satu program yang menjadi sorotan dunia adalah operasi anti narkoba yang menewaskan ribuan orang di Filipina. Karena kasus ini lah, dia diselidiki ICC dan sempat menjadi buron.
Pada 1 Juli 2016, sehari setelah Duterte menjabat, Kepolisian Nasional Filipina meluncurkan Project Double Barrel, kampanye antinarkoba yang begitu ofensif.
Sejak saat itu, Duterte berulang kali menyerukan pembunuhan para penjahat dan anggota organisasi perdagangan narkoba. Dia menilai orang-orang tersebut layak untuk ditembak mati tanpa melewati proses pengadilan.
"Saya akan menjadi diktator, tetapi hanya untuk melawan kejahatan, narkoba, dan korupsi di pemerintahan," kata Duterte pada 2016.
Dia bahkan berjanji mundur dari kursi kepresidenan jika dalam enam bulan gagal menunastakan program itu.
Kemudian pada Oktober 2016, sekitar empat bulan setelah operasi diluncurkan, Jaksa ICC Fatou Bensouda menyatakan keprihatinan atas laporan eksekusi di luar hukum terhadap para tersangka pengguna dan pengedar narkoba di Filipina.
Menurut catatan kelompok pembela hak asasi manusia, operasi antinarkoba itu menewaskan 12.000 hingga 30.000 orang dengan puncak kematian terjadi selama 2016 dan 2017. Data kepolisian sementara itu mencatat angka yang lebih kecil yakni lebih dari 6.200 jiwa.
Kelompok pembela HAM melaporkan bahwa selama periode itu, ribuan pengguna narkoba dan pedagang kecil tewas dibunuh secara misterius oleh penyerang tak dikenal.
Kembali ke ICC, Bensouda mengatakan pengadilan internasional ini akan memantau secara ketat perkembangan di Filipina untuk menilai apakah perlu dilakukan pemeriksaan.
Duterte merespons dengan mengancam akan mengikuti jejak Rusia menarik Filipina dari ICC.
Lalu pada Februari 2018, ICC membuka penyelidikan awal terhadap situasi di Filipina.
Duterte geram dan memutuskan menarik secara resmi Filipina dari ICC pada 16 Maret 2018. Penarikan itu berlaku efektif setahun kemudian, tepatnya pada 17 Maret 2019.
Pada 15 September 2021, Kamar Praperadilan I ICC kemudian mengizinkan jaksa membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait operasi anti narkoba Duterte.
Meskipun Filipina sudah menarik diri, ICC mempertahankan yurisdiksi bahwa dugaan kejahatan Duterte terjadi saat Filipina masih menjadi anggota.
Pemerintah Filipina awalnya menolak upaya ICC menyelidiki dan mengadili Duterte. Pasalnya, Ferdinand Marcos Jr. terpilih sebagai presiden Filipina bersama dengan Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte, sebagai wakilnya dalam pemilu 2022.
Namun belakangan, pemerintah melunak. Pada 2024, pemerintah Filipina menegaskan tak akan menghalangi jikaa ICC mengeluarkan surat perintah untuk menangkap Duterte.
Perubahan sikap ini seiring dengan keretakan hubungan Marcos dan Duterte, dua keluarga paling berkuasa dalam politik Filipina itu, akibat perseteruan antara Marcos Jr dan Sara.
Filipina bahkan menyiagakan ribuan pasukan untuk menangkap Duterte.
(isa/bac)