Jakarta, CNN Indonesia --
Perang antara Iran dan Israel yang dimulai sejak 13 Juni lalu telah meningkatkan kekhawatiran di antara warga Jalur Gaza, Palestina.
Bukan tanpa sebab, warga Palestina selama beberapa waktu belakangan menderita krisis kemanusiaan hebat imbas blokade Israel. Setelah blokade dibuka dan badan bantuan yang dibekingi Amerika Serikat masuk, warga Gaza masih juga menderita.
Pasalnya, bukannya mendapat bantuan, mereka justru jadi sasaran langsung serangan Israel. Ratusan warga Gaza tewas maupun terluka ketika sedang berusaha mengantre bantuan dan makanan di lokasi distribusi. Israel menembaki mereka tanpa pandang bulu dengan alasan tindak tanduknya mencurigakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum juga usai masalah ini, kini dunia teralihkan dengan kemunculan perang baru antara Israel dan Iran. Israel sempat menyatakan bahwa Iran saat ini menjadi medan perang utama sementara Gaza yang kedua.
Peristiwa ini pun semakin menumpuk kesengsaraan rakyat Gaza yang selama beberapa hari terakhir bak terlupakan eksistensinya.
"Perang antara Israel dan Iran membuat orang-orang melupakan kami sepenuhnya. Tidak ada yang memperhatikan kami, tidak ada makanan atau air atau apa pun. Setiap hari, orang-orang mencoba mendapatkan makanan dan bantuan namun mereka berakhir dibawa dalam kantong jenazah," kata Mohammad, seorang warga Gaza yang tidak ingin membagikan nama belakangnya, kepada CNN, Senin (16/6).
Umm Mustafa, warga Gaza lainnya, mengatakan kepada CNN bahwa konflik yang berkembang antara Israel dan Iran menandakan bahwa penderitaan rakyat Gaza telah hilang sepenuhnya dari agenda berita internasional.
"Semua [fokus] bergeser ke perang Israel-Iran, meskipun Jalur Gaza kini telah dihapus dari peta," kata Mustafa.
Abu Juma'a, warga yang tinggal di Gaza City, juga mengatakan kepada CNN bahwa dulu sejumlah pihak menyerukan dan berdiri dalam solidaritas dengan Gaza serta mendesak agar bantuan kemanusiaan diizinkan masuk. Namun kini, seruan untuk sekedar menyediakan makanan dan air di Gaza tampak kabur karena perang Israel-Iran.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 55.300 warga Palestina telah tewas di Jalur Gaza. Sementara itu, lebih dari 128.700 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Jumlah korban tewas ini mewakili sekitar 2,5 persen dari populasi Gaza. Artinya, satu dari setiap 40 warga Palestina yang tinggal di Gaza sebelum perang, kini telah tewas.
Sebuah studi peer-review yang diterbitkan awal tahun ini di jurnal The Lancet menyatakan bahwa jumlah orang yang tewas di Gaza secara signifikan lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan oleh pihak berwenang di daerah kantong tersebut.
CNN tidak dapat memverifikasi secara independen klaim tersebut, dan di saat yang sama, Israel telah melarang wartawan internasional melakukan perjalanan ke Gaza sejak 7 Oktober.
Komite Palang Merah Internasional pada Senin melaporkan bahwa rakyat Gaza saat ini mati-matian berjuang untuk bisa mendapatkan kebutuhan dasar akibat blokade Israel.
Bantuan yang diberikan oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Gaza, terutama di tengah kontroversinya karena membiarkan Israel menembaki warga yang sedang mengantre bantuan.
Berdasarkan catatan otoritas kesehatan Gaza, setidaknya 300 orang telah tewas sejak GHF membuka titik distribusinya pada akhir Mei.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pekan lalu menyatakan pihak berwenang Israel hanya mengizinkan sejumlah lembaga PBB dan organisasi nonpemerintah internasional (LSM) untuk melanjutkan pengiriman bantuan ke Gaza dengan jumlah yang sangat terbatas.
Bantuan terbatas itu mencakup bahan makanan tertentu, persediaan nutrisi, sejumlah persediaan kesehatan, serta barang-barang pemurnian air. Bantuan lain seperti bahan penampungan, produk kebersihan, dan peralatan medis tak diperbolehkan masuk.
"Orang-orang tidak dapat menemukan apa pun untuk dimakan atau diminum. Harga sekantong tepung sekarang 300 hingga 500 kali lebih mahal dari sebelumnya ... rasanya seperti dunia telah melupakan kita," kata penduduk Gaza lainnya, Abu Mohammed, kepada CNN.
Bagi Bisan Qwaider, warga Gaza lainnya, satu-satunya hal dari ayahnya yang bisa ia miliki adalah sepatunya.
Ketika meratapi kepergian sang ayah, ia menatap langit dan meneriakkan pesan untuk mereka yang diyakini bertanggung jawab atas kematiannya, "Semoga Tuhan meminta pertanggungjawaban kalian."
(blq/dna)