Jakarta, CNN Indonesia --
Israel kembali melancarkan serangan udara ke sejumlah gedung tinggi di Gaza City setelah sebelumnya memerintahkan warga Palestina untuk segera mengungsi atau menghadapi ancaman kematian.
Militer Israel pada Sabtu (7/9) merilis peta target baru yang menandai lebih banyak menara apartemen sebagai sasaran. Tak lama kemudian, pesawat tempur Israel menghantam Soussi Tower setinggi 15 lantai yang terletak di kawasan Tal al-Hawa, tepat di seberang kantor Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
"Serangan ini menimbulkan kepanikan di kalangan warga. Waktu evakuasi hanya setengah hingga satu jam, jelas tidak cukup untuk menyelamatkan diri," kata jurnalis Al Jazeera, Hani Mahmoud, dari Gaza City.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Israel mengklaim bangunan yang diserang digunakan Hamas untuk mengumpulkan intelijen dan menyimpan bahan peledak. Namun, Kantor Media Pemerintah Gaza membantahnya dan menilai tuduhan tersebut sebagai "politik tipu daya sistematis" untuk membenarkan penghancuran infrastruktur serta pengusiran paksa warga Palestina.
Serangan terbaru ini menyusul penghancuran Mushtaha Tower setinggi 12 lantai sehari sebelumnya. Otoritas kesehatan Gaza menyebut sedikitnya 68 warga Palestina tewas dan 362 lainnya luka-luka akibat serangan dalam 24 jam terakhir.
Selain korban jiwa, enam orang meninggal akibat kelaparan yang disebut dipicu blokade Israel, sehingga total kematian akibat kelaparan hampir dua tahun perang mencapai 382 orang, termasuk 135 anak-anak. Sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023, sedikitnya 64.368 warga Palestina tewas dan lebih dari 162 ribu lainnya luka-luka.
Israel juga kembali menggempur kawasan al-Mawasi di Khan Younis, yang sebelumnya ditetapkan sebagai "zona kemanusiaan".
Serangan ke tenda pengungsi di sana menewaskan sedikitnya dua orang dan melukai banyak lainnya. Padahal, tentara Israel baru saja mengumumkan pendirian zona kemanusiaan baru di wilayah tersebut, lengkap dengan rumah sakit darurat, suplai air, dan makanan.
Namun, warga Gaza pesimis dengan janji itu. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman," kata reporter Al Jazeera, Hind Khoudary, dari Deir el-Balah.
Bagi sebagian besar warga, pilihan tetap terbatas: bertahan dengan risiko terbunuh atau meninggalkan rumah menuju selatan dengan biaya besar dan ancaman serangan di jalan. Banyak yang kembali mendapati rumah mereka telah rata dengan tanah.
"Apa yang kami bangun selama 50 tahun hancur dalam lima hari," kata Aqeel Kishko, warga Zeitoun. "Kami berjalan di atas puing-puing sekaligus jasad orang-orang tercinta."
Nohaa Tafish menambahkan, "Tidak ada yang bisa kembali. Gaza City sudah tidak tersisa apa-apa."
Sementara Ahmed Rihem menggambarkan kehancuran itu dengan getir. "Seperti seluruh Zeitoun dihantam bom nuklir," ujarnya.
(tis/tis)