Jakarta, CNN Indonesia --
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama ini terus mendorong peningkatan perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara global melalui berbagai mekanisme, termasuk Dewan HAM PBB, perjanjian internasional, dan sistem pemantauan.
Upaya ini ditegaskan melalui peringatan Hari HAM Sedunia yang diperingati setiap 10 Desember, serta melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) yang diadopsi pada 1948.
PBB menyatakan komitmennya untuk menegakkan standar universal terkait martabat, kesetaraan, dan keadilan, meski tantangan global seperti konflik bersenjata dan pemerintahan otoriter masih terus berlangsung di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakistan merupakan bagian dari sistem PBB dan aktif dalam berbagai badan HAM. Pada Oktober 2025, Pakistan terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2026-2028. Keanggotaan ini menjadi masa jabatan keenam Pakistan sejak pertama kali bergabung pada 2006.
"Namun, berbagai organisasi dan lembaga HAM menilai komitmen internasional tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam praktik di dalam negeri Pakistan, khususnya terkait perlindungan kelompok minoritas," ucap Dr. Emanuel Adil Ghouri, Ketua Christian Awareness Movement Pakistan.
Dugaan pelanggaran HAM
Konstitusi Pakistan memuat sejumlah ketentuan yang menjamin hak-hak dasar seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas. Pasal 36 secara khusus menjamin perlindungan hak minoritas, sementara Pasal 22 melarang diskriminasi di lembaga pendidikan.
Meski demikian, sejumlah laporan menyebutkan implementasi pasal-pasal tersebut masih lemah.
Ghouri mengatakan, dugaan pelanggaran HAM terhadap minoritas di Pakistan yang kerap dilaporkan meliputi diskriminasi sistemik, konversi agama secara paksa, penyalahgunaan undang-undang penistaan agama, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, serta marginalisasi sosial.
"Kelompok yang terdampak antara lain minoritas Hindu, Sikh, dan Kristen," ujarnya.
Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pakistan (NHRC) mencatat bahwa hingga 25 Juli 2024, sebanyak 767 orang dipenjara di Pakistan atas tuduhan penistaan agama. Angka ini meningkat dibandingkan 213 orang pada 2023, 621 orang pada 2021, dan 99 orang pada 2020.
Dalam periode 1994 hingga 2024, NHRC mencatat sedikitnya 104 orang tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum setelah dituduh melakukan penistaan agama. Dari jumlah tersebut, sekitar 26 persen merupakan warga Kristen, satu orang Hindu, satu orang Buddha, sementara dua korban lainnya tidak diketahui latar belakang agamanya.
Perlindungan hak Minoritas
Sementara itu, Center for Social Justice (CSJ), lembaga riset yang meneliti isu konversi agama paksa terhadap anak perempuan dari kelompok minoritas, melaporkan bahwa lebih dari 46 persen korban berasal dari komunitas Hindu dan 44 persen dari komunitas Kristen.
"Lebih dari 46 persen korban merupakan anak di bawah umur, dengan sekitar 33 persen berusia antara 11 hingga 15 tahun," tutur Ghouri
Selain itu, kelompok minoritas di Pakistan juga menghadapi persoalan lain seperti pembatasan kebebasan beragama, ketimpangan politik dan sosial, serta diskriminasi dalam sistem pendidikan. Isu-isu tersebut telah berulang kali disoroti oleh organisasi HAM internasional, Uni Eropa, dan badan-badan PBB.
Pakar HAM PBB dan Sekretaris Jenderal PBB dalam sejumlah kesempatan mengecam serangan terhadap kelompok minoritas agama dan etnis di Pakistan serta menyerukan tindakan tegas terhadap para pelaku. Para Pelapor Khusus PBB juga mendesak diakhirinya kekerasan dan diskriminasi yang meluas.
"Pada peringatan Hari HAM Internasional, sejumlah organisasi HAM kembali menyerukan agar pemerintah Pakistan memperkuat perlindungan hak minoritas secara nyata, tidak hanya melalui pernyataan politik, tetapi juga melalui kebijakan dan penegakan hukum di lapangan," pungkas Ghouri.
(dna)

10 hours ago
6

















































